Sabtu, 21 Juni 2014

LEBONNA



(I)
“Aku mencintaimu, Lebonna” kataku.
Wajahmu terpias cahaya bulan.
“Mengapa bisa wahai Paerengan?” kau pura-pura menanya, sedang bumi tak mungkin berpindah.
Hatiku berderak tiap kali rapat pada papan-papan di atas Tongkonan.
Aku sering menemukan yang getar gemetar dalam dada- seperti gemuruh?- tak mampu kunamai, Lebonna.

Bahar yang biru adalah rindu atas matamu yang berombak namun tak mampu kulabuhi dengan sekadar perahu. Sebab hanya pinisi yang lahir dari santigi1 mampu merasai keheningan lautmu itu.

Aku tak peduli, Lebonna. Sebab kau lahir dari purnama, buncah dari dewata, timbul dari samudera, dan terkuak dari pohon-pohon cemara.
“Bagaimana bila aku mati?” rambut uraimu terkulai ditiup penasaran.
“Aku akan mati bersama kau! Hanya bila kau mati, nafasku akan berakhir..”

Di perutmu kelak, akan menjadi tempatku menebar benih hingga lahir menjadi nama-nama, menjadi mana-mana.
Kau kerap berkisah padaku bahwa ayahmu ialah pelaut, ibumu rimba.
Sebab itu, rambutmu biru beraroma kayu manis. Kudapati ikan-ikan kecil berenang di tiap helainya- tapi bukan kutu.
Pada gaunmu hijau terpendar menggugurkan musim yang kunamai cinta dan setia. Pada lehermu, senja lembayung melahirkan siluet.

Sebuah kala, aku hendak berperang memenangi yang benar, memerangi yang nista. Nanti aku, Lebonna.
Kau merenda air awan asin menjadi hujan, menenun kain selimut untukku, menghitung remah angin, dan mengukur waktu di Lego-lego2 .
Tetap menjadi karang, pulang nanti kubangun sakofagus dan dolmen menjadi seribu candi.
Tanggal menanggalkan hari..
Kudapati aroma dupa-dupa dan tedong3  dijagal meliputi rumahmu. Kau telah wafat bersama kabar gagak yang mengetuk telingamu!
Mengapa bisa, Lebonna? Sedang aku tiba membawa bunga buat kau!
Aku terbang mencari hutan dan hinggap di Jembatan bersama rindu dan sesal.

Dodeng: kawanku yang karib dan rajin menadah tuak dalam lokan itu entah mengapa terbirit-birit memanjat rumahku sambil meringis ketakutan. Ia kabari perihal kau yang ma’londe4 merintih merinduku! Dadaku hendak meledak!

Aku turut bersama Dodeng menuju pusaramu. Aku bersembunyi dibawah pohon Lipa. Samar rintihanmu memotong nyali dan saktiku.
Ohh paerengan.. muanekulelakiku, mengapa bisa kau tega ingkari janji? Aku mati sedang engkau ternyata belum mati..
Aku berlari menuju rumah dan menangis sejadi-jadinya. Seperti jiwa kanak-kanak hadir kembali dalam diriku. Mengajak meronta meminta mainan.

Esoknya, kuminta tombak ditegakkan ke langit.
“kita akan merok5!”
Seketika aku lompat diatas ribuan mata tombak yang telah tahu rasa yang menggeliat diantara kita. Darahku bersimbah, aku mandi bersama darah.
Aku menyusulmu. Menggenapkan janji setia. Kita sepusara batu.
(II)
Namun, resah masih menggantung. Kepalamu menanam pohon tumbuh jadi risau, gugur jad cemas.
Seperti apa anak-anak kita kelak?
Sedang mereka-aku tahu-akan tumbuh sebagai patung durhaka.
Adakah yang akan mencintai kau yang lainnya?
Sedang aku tahu, salusungai sa’dan akan meluap. Menyapu kau Lebonna!

Kepalaku metropolitan dijejali kendaraan entah apa dan rupa entah siapa.
Akan ingatkah mereka pada kita? Atau akan ada hikayat lain yang menghapus kita?
Mungkin akan datang kisah dari negeri jauh bernama Romeo dan Juliet yang lebih mereka kenang perihal kesetiaan dan cinta cinta.
Sedang kau telah mati, pula aku.
Masih adakah yang akan rela mati demi kau yang lainnya?
Masih adakah yang rela berperang sedang mereka tak tahu memegang tombak melainkan benda aneh untuk digulati siang malam.
Akankah ada yang hafal wajahku dan kau sedang rambut anak kita kelak berwarna merah dan kuning?
Akan adakah yang merapal do’a buatku dan kau
Sedang mereka kelak menari-nari diatas jalan besar daripada bersembah sujud pada puangtuhan?
Masihkah kau lihat gelisah dan risauku, Lebonna?
Akan serupa itukah anak kita kelak?
Akankah. Bilakah. Siapakah. Entahlah!! 


1.        Pohon yang dapat tumbuh di batu
2.        Teras rumah panggung
3.        Kerbau
4.        Lagu rintihan
5.        Acara mendirikan rumh baru


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar