(I)
“Aku mencintaimu, Lebonna” kataku.
Wajahmu terpias cahaya bulan.
“Mengapa bisa wahai Paerengan?” kau pura-pura menanya, sedang bumi
tak mungkin berpindah.
Hatiku berderak tiap kali rapat pada papan-papan di atas Tongkonan.
Aku sering menemukan yang getar gemetar dalam dada- seperti
gemuruh?- tak mampu kunamai, Lebonna.
Bahar yang biru adalah rindu atas matamu yang berombak namun tak
mampu kulabuhi dengan sekadar perahu. Sebab hanya pinisi yang lahir dari
santigi1 mampu merasai keheningan lautmu itu.
Aku tak peduli, Lebonna. Sebab kau lahir dari purnama, buncah dari
dewata, timbul dari samudera, dan terkuak dari pohon-pohon cemara.
“Bagaimana bila aku mati?” rambut uraimu terkulai ditiup penasaran.
“Aku akan mati bersama kau! Hanya bila kau mati, nafasku akan
berakhir..”
Di perutmu kelak, akan menjadi tempatku menebar benih hingga lahir
menjadi nama-nama, menjadi mana-mana.
Kau kerap berkisah padaku bahwa ayahmu ialah pelaut, ibumu rimba.
Sebab itu, rambutmu biru beraroma kayu manis. Kudapati ikan-ikan
kecil berenang di tiap helainya- tapi bukan kutu.
Pada gaunmu hijau terpendar menggugurkan musim yang kunamai cinta
dan setia. Pada lehermu, senja lembayung melahirkan siluet.
Sebuah kala, aku hendak berperang memenangi yang benar, memerangi
yang nista. Nanti aku, Lebonna.
Kau merenda air awan asin menjadi hujan, menenun kain selimut
untukku, menghitung remah angin, dan mengukur waktu di Lego-lego2
.
Tetap menjadi karang, pulang nanti kubangun sakofagus dan dolmen
menjadi seribu candi.
Tanggal menanggalkan hari..
Kudapati aroma dupa-dupa dan tedong3 dijagal meliputi rumahmu. Kau telah
wafat bersama kabar gagak yang mengetuk telingamu!
Mengapa bisa, Lebonna? Sedang aku tiba membawa bunga buat kau!
Aku terbang mencari hutan dan hinggap di Jembatan bersama rindu dan
sesal.
Dodeng: kawanku yang karib dan rajin menadah tuak dalam lokan itu
entah mengapa terbirit-birit memanjat rumahku sambil meringis ketakutan. Ia
kabari perihal kau yang ma’londe4 merintih merinduku! Dadaku hendak
meledak!
Aku turut bersama Dodeng menuju pusaramu. Aku bersembunyi dibawah
pohon Lipa. Samar rintihanmu memotong nyali dan saktiku.
Ohh paerengan.. muanekulelakiku, mengapa bisa kau tega
ingkari janji? Aku mati sedang engkau ternyata belum mati..
Aku berlari menuju rumah dan menangis sejadi-jadinya. Seperti jiwa
kanak-kanak hadir kembali dalam diriku. Mengajak meronta meminta mainan.
Esoknya, kuminta tombak ditegakkan ke langit.
“kita akan merok5!”
Seketika aku lompat diatas ribuan mata tombak yang telah tahu rasa yang
menggeliat diantara kita. Darahku bersimbah, aku mandi bersama darah.
Aku menyusulmu. Menggenapkan janji setia. Kita sepusara batu.
(II)
Namun, resah masih menggantung. Kepalamu menanam pohon tumbuh jadi
risau, gugur jad cemas.
Seperti apa anak-anak kita kelak?
Sedang mereka-aku tahu-akan tumbuh sebagai patung durhaka.
Adakah yang akan mencintai kau yang lainnya?
Sedang aku tahu, salusungai sa’dan akan meluap. Menyapu
kau Lebonna!
Kepalaku metropolitan dijejali kendaraan entah apa dan rupa entah
siapa.
Akan ingatkah mereka pada kita? Atau akan ada hikayat lain yang
menghapus kita?
Mungkin akan datang kisah dari negeri jauh bernama Romeo dan Juliet
yang lebih mereka kenang perihal kesetiaan dan cinta cinta.
Sedang kau telah mati, pula aku.
Masih adakah yang akan rela mati demi kau yang lainnya?
Masih adakah yang rela berperang sedang mereka tak tahu memegang
tombak melainkan benda aneh untuk digulati siang malam.
Akankah ada yang hafal wajahku dan kau sedang rambut anak kita
kelak berwarna merah dan kuning?
Akan adakah yang merapal do’a buatku dan kau
Sedang mereka kelak menari-nari diatas jalan besar daripada
bersembah sujud pada puangtuhan?
Masihkah kau lihat gelisah dan risauku, Lebonna?
Akan serupa itukah anak kita kelak?
Akankah. Bilakah. Siapakah. Entahlah!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar